MAKALAH
Dibuat sebagai Salah
Satu Syarat Mata Kuliah Pendidikan Karakter
Dosen Pengampu : Dra. Yuyarti, M.Pd.
Oleh :
Nurul Khikmah (1401416348/05)
Sri Suryani (1401416355/10)
Diky Rama Aji P. (1401416366/20)
PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
TAHUN 2018
1.
Pembuka
1.1 Latar Belakang
Indonesia bangsa yang besar, terkenal akan budaya ramah tamahnya kepada
setiap pendatang. Negara dimana azas saling menghormati dijunjung tinggi,
orang-orangnya saling toleran senantiasa menjunjung tinggi kebersamaan. Itulah gambaran
bangsa Indonesia berabad-abad yang lalu, sehingga bangsa barat ingin menguasai
negara ini, negara yang selain orang-orangnya sopan, juga memiliki sumber daya
alam yang melimpah. Bangsa Indonesia saat ini mengalami kemunduran luar biasa
dalam bidang tata krama dan sopan santun yang menjadi ciri khas bangsa ini
karena digerogoti oleh teknologi dan kemajuan zaman.
Indonesia
sudah merdeka sejak tahun 1945, merdeka dari para penjajah, namun kini secara
tidak disadari bangsa ini kembali dijajah, dijajah secara moral sehingga
terkikis kebudayaannya, banyak orang dari bangsa ini lupa akan jati dirinya.
Mereka melupakan kebudayaan dasarnya, yaitu tata krama, kebudayaan yang bukan
hasil karya semata melainkan hasil dari hati nurani bangsa ini. Para pemuda
saat ini banyak yang tidak lagi memperhatikan masalah tata krama. Hal ini
terbukti dengan banyaknya para pemuda yang tidak tahu tentang cara bersikap
dengan orang secara baik dan benar, cara bertutur kata yang baik, dan cara
berperilaku yang semestinya dilakukan oleh kawula muda. Jati diri bangsa ini
sudah mulai terkikis oleh zaman sehingga menimbulkan dampak yang besar seperti
saat ini. Hal ini diperparah dengan tidak pedulinya para kawula muda tentang
pentingnya tata krama dan sopan santun dalam kehidupan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan sopan
santun?
2.
Pentingkah menanamkan karakter sopan
santun anak sejak dini?
3.
Bagaimanakah upaya pendidik menanamkan
karakter sopan santun siswa SD?
4.
Bagaimanakah peran pembelajaran muatan
lokal Bahasa Jawa untuk menanamkan karakter sopan santun siswa SD?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui karakter sopan santun.
2.
Mengetahui pentingnya menanamkan
karakter sopan santun anak sejak dini.
3.
Mengetahui upaya pendidik menanamkan
karakter sopan santun siswa SD.
4.
Mengetahui peran pembelajaran muatan
lokal Bahasa Jawa untuk menanamkan karakter sopan santun siswa SD.
2.
Pembahasan
2.1
Pengertian Sopan Santun (Kesopanan) atau Rasa Hormat
Sopan santun merupakan istilah bahasa
jawa, yaitu perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai menghormati,
menghargai, tidak sombong dan berakhlak
mulia. Perwujudan sopan santun adalah perilaku menghormati orang lain melalui
komunikasi menggunakan bahasa yang tidak meremehkan atau merendahkan orang
lain. Sikap sopan santun dalam bahasa Jawa salah satunya ditandai dengan
perilaku menghormati orang yang lebih tua, menggunakan bahasa yang sopan, tidak
memiliki sifat sombong. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang
dianggap sebagai norma kesopanan berbeda di berbagai tempat, lingkungan, atau
waktu.
Rasa hormat berarti menunjukkan
penghargaan kita terhadap harga diri orang lain ataupun hal lain selain diri
kita. Lickona (2013:70) “penghormatan terhadap orang lain mengharuskan kita
untuk memperlakukan semua orang bahkan orang yang kita benci sebagai manusia
yang memiliki nilai tinggi dan memiliki
hal yang sama dengan kita sebagai individu”. Kesopanan juga merupakan bentuk
lain dari penghormatan terhadap orang lain.
2.2 Macam-Macam Sopan Santun/Kesopanan
a. Kesopanan Berbahasa
Bahasa
menunjukan bangsa, dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan alat komunikasi
penting yang menjembatani seseorang dengan orang lainnya. Santun bahasa menunjukan
bagaimana seseorang melakukan interaksi sosial dalam kehidupannya secara lisan.
Setiap orang harus menjaga santun bahasa agar komunikasi dan interaksi dapat
berjalan baik. Bahasa yang digunakan dalam sebuah komunikasi sangat menetukan
keberhasilan pembicaraan (Kuraesin, 1975:6).
b. Sopan Santun Berperilaku
Santun
adalah satu kata sederhana yang memiliki arti banyak dan dalam, berisi
nilai-nilai positif yang dicerminkan dalam perilaku positif. “Perilaku positif
lebih dikenal dengan santun yang dapat diimplementasikan pada cara berbicara,
cara berpakaian, cara memperlakukan orang lain, cara mengekspresikan diri
dimanapun dan kapan pun” (Chazawi, 2007:12). Santun yang tercermin dalam
perilaku bangsa Indonesia tidak tumbuh dengan sendirinya namun merupakan suatu
proses yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa yang luhur.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lunturnya
Nilai-Nilai Kesopanan
Mahfudz (2010:03), berpendapat bahwa
kurangnya sopan santun pada anak disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Anak-anak
tidak mengerti aturan yang ada, atau ekspektasi yang diharapkan dari dirinya
jauh melebihi apa yang dapat mereka cerna pada tingkatan pertumbuhan mereka
saat itu.
b. Anak-anak
ingin melakukan hal-hal yang diinginkan dan kebebasannya.
c. Anak-anak
meniru perbuatan orang tua.
d. Adanya
perbedaan perlakuan disekolah dan dirumah.
e. Kurangnya
pembiasaan sopan santun yang sudah diajarkan oleh orang tua sejak dini.
2.4
Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa di Sekolah Dasar
Karakteristik dan potensi perkembangan
anak usia SD adalah karakteristik sosial emosional. Menurut teori perkembangan
psikoseksual Freud (Ayriza,2005), anak usia SD berada pada fase laten, dimana
dorongan libido dalam keadaan diam, sehingga emosi anak relatif tenang. Hal ini
membuat anak usia SD tidak banyak masalah dan mudah dididik, tingkah laku
sosial timbul dari cara menirukan, belajar model dan reinforcement dari
lingkungannya.
Usia SD memudahkan guru mengajarkan dan
menanamkan nilai sopan santun kepada anak didik sebagai modal dasar
berinteraksi dan bergaul dengan lingkungan sosialnya. Hal itu menjadi sangat
penting membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya, yaitu meluaskan
lingkungan sosialnya. Berinteraksi dengan lingkungan sosial, anak perlu
mengetahui perilaku dan nilai-nilai kesopanan yang berlaku di lingkungannya.
Nilai kesopanan tersebut dapat dipelajari dari mata pelajaran Bahasa Jawa.
Materi yang terkait dengan pembelajaran nilai kesopanan terdapat dalam materi
unggah-ungguh Bahasa Jawa.
Materi pelajaran Bahasa Jawa SD secara
umum adalah tata Bahasa Jawa, Aksara Jawa, Sastra Jawa dan Budaya Jawa. Salah
satu materi Budaya Jawa adalah pembelajaran unggah-ungguh Bahasa Jawa.
Pembelajaran Bahasa Jawa menjadi sarana pendidikan sopan santun anak. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Sabdawara (2001) bahwa Bahasa Jawa dapat
digunakan sebagai wahana pembentukan budi pekerti dan sopan santun karena kaya
dan lengkap dengan perbendaharaan kata sebagai bahasa yang meliputi: fungsi, aturan
atau norma kebahasaan, variasi atau tingkatan bahasa, etika dan nilai-nilai
budaya yang tinggi dengan segala peran fungsinya.
Fungsi Bahasa Jawa menurut Sabdawara
(2001: 127-128) sebagai berikut:
1. Bahasa
Jawa adalah bahasa budaya di samping berfungsi komunikatif juga berperan
sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur.
2. Sopan
santun berbahasa Jawa berarti mengetahui akan batas-batas sopan santun,
mengetahui cara menggunakan adat yang baik dan mempunyai rasa tanggung jawab
untuk perbaikan hidup bersama.
3. Agar
mencapai kesopanan yang dapat menjadi hiasan diri pribadi seseorang, maka
syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Pandai
menenggangkan perasaan orang lain di dalam pergaulan
b. Pandai
menghormati kawan maupun lawan
c. Pandai
menjaga tutur kata, tidak kasar dan tidak menyakiti hati orang lain
Berdasarkan pendapat tersebut, sangat
tepat bahwa pembelajaran Bahasa Jawa khususnya unggah-ungguh Bahasa Jawa
diajarkan dari periode SD sebagai landasan perkembangan perilaku periode
selanjutnya.
2.5.
Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Adisumarto (Suharti, 2001: 69) menyatakan
bahwa “unggah-ungguh Bahasa Jawa adalah adat sopan santun, etika, tata susila
dan tata krama berbahasa Jawa.” Berdasarkan pengertian tersebut unggah-ungguh
Bahasa Jawa atau tingkat tutur (undha usuk basa) tidak terbatas pada tingkat
kesopanan bertutur saja, namun di dalamnya terdapat konsep sopan santun
bertingkah laku atau bersikap. Berdasarkan pengertian yang lebih luas, batasan
unggah-ungguh Bahasa Jawa tercermin dalam filosofi hidup masyarakat Jawa, yaitu
ajining diri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana dan ajining
awak dumunung ing tumindak.
Ungkapan ajining diri dumunung ing lathi
dapat diartikan bahwa harga diri dan kehormatan seseorang tergantung pada
ucapannya, yaitu kesantunan bertutur. Hal tersebut terkait bagaimana bahasa
yang harus digunakan ketika berbicara kepada orang yang seusia atau orang yang
lebih tua serta bahasa yang tidak menyakiti hati lawan bicaranya. Ungkapan
ajining raga dumunung ing busana diartikan seseorang dihargai dengan kesopanan
dan kesesuaian dalam berbusana (sesuai tempat, waktu, situasi dan konteks
budaya Jawa). Sedangkan ungkapan ajining awak dumunung ing tumindak diartikan
harga diri dan kehormatan seseorang tergantung pada perilaku dalam berinteraksi
dengan orang lain.
Unggah-ungguh Bahasa Jawa yang terkait
dengan tingkat tutur atau ragam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua ragam, yaitu
ragam Bahasa Jawa ngoko dan ragam krama. Ragam Bahasa Jawa ngoko digunakan oleh
orang-orang yang akrab, seusia serta orang yang merasa mempunyai status sosial
lebih tinggi daripada lawan bicaranya. Selain itu juga didasarkan pada hubungan
kekerabatan yang sangat dekat. Ragam ngoko terbagi menjadi dua, yaitu ngoko
lugu dan ngoko alus. Perbedaannya terdapat kosa kata krama dalam ragam ngoko
alus yang digunakan untuk menghormati lawan bicara, sedangkan ragam krama
digunakan orang-orang yang belum saling mengenal, serta orang-orang yang merasa
mempunyai status sosial yang lebih rendah dari lawan bicaranya dan bertujuan
menghormati lawan bicara. Bahasa Jawa ragam krama juga terbagi menjadi dua,
yaitu ragam krama lugu dan krama alus. Perbedaan kedua ragam tersebut masih
digunakannya kosa kata ngoko dan madya. Sejalan dengan hal tersebut Sasangka
(2004: 105) mengemukakan secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan
sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Masyarakat
awam menyebut ragam krama lugu sebagai ragam krama madya.
Unggah-ungguh
Bahasa Jawa juga mengandung nilai sopan santun. Hal tersebut terlihat dalam
cara atau sikap seseorang ketika berbicara dengan orang lain. Seseorang
dikatakan sebagai orang berunggah-ungguh Jawa adalah orang yang ketika
berhubungan dengan orang lain menampakkan sopan santunnya, baik bahasa atau
tutur kata maupun perilakunya.
Unggah-ungguh Bahasa Jawa sebagai materi
pembelajaran di SD disesuaikan untuk masing-masing kelas, baik untuk kelas
rendah maupun kelas tinggi. Pembelajaran unggah-ungguh Bahasa Jawa di SD tidak
sebatas pada teori saja namun lebih kepada aplikasinya dalam kehidupan praktis
sehari-hari. Misalnya, materi unggah-ungguh Bahasa Jawa untuk kelas rendah
(kelas I), tema diri sendiri, sub tema pitepangan ‘perkenalan’, dengan materi
pelajaran sebagai berikut : nama kula, Banu; menika bapak kula, asmanipun Pak
Budi. ‘nama saya, Banu; ini bapak saya, namanya Pak Budi.’ Berdasarkan contoh
tersebut terlihat adanya pendidikan sopan santun dalam bertutur bagi anak didik
di kelas rendah, yaitu bahwa pada kata nama
untuk diri sendiri, dan asmanipun untuk
menyebutkan ayahnya (orang yang lebih tua).
Contoh
lain materi unggah-ungguh Bahasa Jawa untuk kelas rendah sebagai berikut:
a. Menawa
kowe pamit marang bapak ibu: Pak, Bu, kula nyuwun pamit badhe sekolah.
“Bila kamu meminta ijin kepada bapak
ibu: Pak, Bu, saya pamit berangkat sekolah.”
b. Menawa
kowe diparingi sangu ibu: Bu, kula matur nuwun.
“Bila diberi uang saku oleh ibu: Bu,
saya terima kasih.”
c. Matur
ibu guru yen arep pipis: Bu Guru, kula badhe pipis.
“Bila meminta ijin untuk buang air kecil: Bu Guru,
saya akan buang air kecil.”
Materi unggah-ungguh Bahasa Jawa di atas
sangat sederhana karena disesuaikan dengan keadaan anak didik di kelas rendah.
Namun kandungan maknanya sangat dalam karena terdapat transfer nilai-nilai
sopan santun dalam bertutur, baik dengan orang tua, maupun guru. Dengan cara
menirukan kalimat beragam krama yang terkait dengan kehidupan praktis yang
selalu dihadapi anak didik sehari-hari, maka hal tersebut akan selalu terekam
dengan baik dalam ingatannya dan menjadi acuan ketika berperilaku dan bersikap.
Dari contoh di atas, untuk materi unggah-ungguh pitepangan ‘sopan santun’
ketika berkenalan ‘di kelas rendah, anak dapat mempraktekkan secara langsung
bagaimana sikap ketika berkenalan dengan orang yang lebih tua dan bahasa yang
digunakan. Contoh materi di kelas rendah misalnya anak didik diajarkan
bagaimana cara berpamitan kepada orang tua ketika akan berangkat ke sekolah,
dengan Bahasa Jawa ragam krama yang sederhana, cara berterima kasih bila
mendapatkan uang saku dari orang tua. Selain itu juga diberikan contoh bertutur
dengan santun ketika anak harus meminta ijin untuk buangn air kecil kepada guru
ketika pelajaran di kelas masih berlangsung, sehingga anak didik akan
membiasakan dirinya bertutur dengan penuh kesopanan, meskipun dengan Bahasa
Jawa ragam krama sederhana.
Contoh materi unggah-ungguh Bahasa Jawa
untuk kelas tinggi (kelas IV), tema budi pekerti (bisa ngetrapake unggah-ungguh
lan tata krama mertamu/ dapat menerapkan sopan santun dalam bertamu). Contoh
materi pelajaran oleh Muharto (2004) sebagai berikut:
Martana
mertamu ing omahe Utama.
a. Martana
thothok-thothok lawang karo muni “kula nuwun”, terus mundur, ngenteni
dibukakake lawang.
‘Martana mengetuk pintu dengan berkata:
“permisi”, kemudian mundur dan menanti agar dibukakan pintu.’
b. Saka
njero ngomah krungu swara, “mangga!”, Utama mlaku banjur mbukakake lawang.
Bareng weruh tamune Martana, diajak salaman karo muni, “E, dhik Tana, mangga
pinarak lenggah!”
‘dari dalam rumah terdengar suara,
“mari!”, Utama berjalan kemudian membukakan pintu. Setelah mengetahui bahwa
Martana yang bertamu, kemudian diajak berjabat tangan sambil berkata, “E, dhik
Tana, mari silahkan masuk!”
c. Martana
mlebu, sawise diaturi lenggah banjur lungguh, Utama uga banjur lungguh.
‘Martana kemudian masuk, setelah dipersilahkan
duduk, Utama kemudian duduk.”
Utama
: “Njanur gunung, wonten kersa menapa, dhik?”
‘Tumben, ada perlu apa, dhik?’
Martana : “Inggih, naming dolan-dolan
kemawon.”
‘Ya, hanya ingin main saja.’
Utama
: “Kados pundi kabaripun bapak ibu?”
‘Bagaimana kabar bapak
ibu?’
Martana : “Pangestunipun sami kasarasan.
Menawi pakdhe budhe mriki kados
pundi?”
‘Berkat doa restunya,
semua sehat. Bagaimana kabar om dan tante disini?’
Utama
: “Nggih sami sehat.”
‘Ya semua sehat.’
Martana : “Alkhamdulillah...Mas Martana,
sajatosipun sowan kula menika badhe ngampil buku Basa Jawi kelas 4.”
‘Alkhamdulillah...Kak
Martana, sebetulnya kedatangan saya ini, ingin meminjam buku Bahasa Jawa kelas
4.’
Utama
: “O, nggih kula pendhetaken rumiyin.” (mlebu njupuk buku terus bali
metu ngulungake buku).
‘O, ya saya ambilkan
dulu.’ (masuk ke rumah untuk mengambilkan buku)
Martana : (Nampani buku karo ngadeg)
“Matur nuwun. Kepareng kula lajeng nyuwun pamit.”
‘(Menerima buku sambil
berdiri) Terima kasih, saya mohon pamit pulang.’
Utama
: “Mangga ndherekaken sugeng tindak!”
‘Mari selamat jalan!’
Berdasarkan contoh materi di atas nampak
bahwa, unggah-ungguh Bahasa Jawa mengajarkan sopan santun, baik dalam
bertingkah laku, maupun dalam bertutur. Anak didik di kelas tinggi sudah
diajarkan cara-cara dalam bertamu, yaitu dengan cara mengetuk pintu dengan
sopan, mengucapkan salam, kemudian duduk setelah dipersilahkan duduk oleh tuan
rumahnya. Diberikan juga contoh cara meminjam sesuatu kepada orang yang lebih
tua, selain itu juga cara pamit pulang dan cara mengucapkan terima kasih.
Bentuk
materi unggah-ungguh Bahasa Jawa yang disajikan pada pembelajaran SD berwujud
cerita atau percakapan yang mengandung nilai-nilai sopan santun dalam konteks
Budaya Jawa. Materi percakapan, misalnya, dijadikan simulasi bermain peran oleh
anak didik. Sehingga anak didik dapat secara langsung mengetahui penggunaan
unggah-ungguh Bahasa Jawa dalam pergaulan di lingkungannya. Penerapan
unggah-ungguh Bahasa Jawa tersebut secara langsung dapat terekam di dalam
ingatan anak, sehingga ketika dihadapkan pada keadaan nyata, anak dapat
menggunakannya sebagai acuan bertingkah laku. Hal tersebut sangat membantu
perkembangannya karena masa anak SD, tingkah laku sosial timbul dari cara
menirukan, belajar model dan reinforcement dari lingkungannya.
2.6.
Cara Mengenalkan Unggah-ungguh Bahasa Jawa
Perkembangan otak anak bergantung pada
stimulasi yang diperoleh dari lingkungan. Anak usia dini belajar tentang diri
mereka dan dunianya ketika berinteraksi dengan orang lain.
Pengalaman-pengalaman positif dalam aspek emosi, fisik dan intelektual didapat
pada tahun-tahun awal kehidupan sangat penting untuk perkembangan otak.
Cara mengembangkan pengalaman-pengalaman
positif mengenai perilaku sopan, yaitu perilaku berunggah-ungguh, sebagai salah
satu cara memperkenalkan unggah-ungguh adalah saat anak berinteraksi dengan
orang lain.
Memperkenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa tidak
hanya sekedar mengajarkan atau mengenalkan untuk mengetahui tentang pengucapan
kata-kata bahasa Jawa dalam tataran ngoko atau krama yang baik dan buruk atau
yang benar dan salah, tetapi merupakan pelatihan pembiasaan terus menerus
tentang sikap berunggah-ungguh yang benar dan baik, sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari.
Harapannya anak terbiasa melakukan
kebiasaan sopan di dalam rumah maupun di luar rumah karena saat usia dini, anak
merupakan peniru ulung sekaligus pembelajar ulet, maka pengenalan dan
pembiasaan unggah-ungguh bahasa Jawa perlu dimulai sejak usia dini. Selain itu,
kebiasaan melakukan perilaku yang sopan dan berunggah-ungguh tersebut penting
di masa kanak-kanak maupun setelah
dewasa.
Pepatah mengatakan anak-anak tidak pernah
menjadi pendengar yang baik bagi orang tuanya, tetapi dapat menjadi peniru
ulung orang tuanya. Anak-anak usia dini belajar melalui apa yang ada dan
terjadi di sekitarnya, bukan mendengarkan nasehat. Nilai yang diajarkan kepada
anak usia dini melalui kata-kata, hanya sedikit yang dapat anak lakukan,
sedangkan nilai yang diajarkan melalui perbuatan banyak yang dapat dilakukan
atau ditirunya (Riyanto, 2005: 71).
Berdasarkan hal tersebut, maka tepat bahwa
mengenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa kepada anak usia dini tidak hanya
terbatas pada penggunaaan kosakata atau berbagai bentuk tingkat tutur ngoko dan
krama saja, tetapi juga harus diikuti dengan teladan perbuatan yang santun dari
orang-orang sekitar di lingkungannya. Dengan kata lain, unggah-ungguh bahasa
Jawa mengandung nilai-nilai sopan santun. Hal tersebut dapat terlihat dalam
cara atau sikap seseorang ketika berbicara dengan orang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang berunggah-ungguh Jawa
adalah ketika berhubungan dengan orang lain menampakkan sopan santunnya, baik
bahasa atau tutur katanya dan sikap atau perilakunya.
Cara mengenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa
kepada anak usia dini dapat dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya adalah
melalui cara-cara sebagai berikut.
1. Bercerita/
Mendongeng Berbahasa Jawa
Dongeng
Jawa sangat banyak jumlahnya, baik yang sudah dikenal oleh masyarakat luas,
maupun yang kurang populer. Beberapa dongeng yang cukup dikenal di antaranya
Andhe-andhe Lumut, Lutung Kasarung, Cindhelaras, Kleting Kuning, Tiyang Tani
lan Tikus. Berbagai macam dongeng atau cerita anak tersebut merupakan warisan
para leluhur yang tidak hanya sekedar cerita fiktif penuh imajinasi saja,
meskipun kata “dongeng” juga dijarwadhosokkan dengan dipaido ya keneng
(disangsikan pun boleh), akan tetapi, banyak hal yang dapat dipetik dari
dongeng-dongeng tersebut, salah satunya adalah pitutur atau nilai budi pekerti
yang masih relevan dengan nilai-nilai yang berkembang di kehidupan masyarakat
sekarang ini.
Seperti
kebanyakan dongeng atau cerita anak yang lain, dongeng berbahasa Jawa juga
dapat digunakan sebagai salah satu upaya mengembangkan dan menciptakan
lingkungan berekspresi, berimajinasi, dan belajar yang memungkinkan anak-anak
mampu menggali, mengkaji, menerapkan konsep dan nilai budi pekerti dan
membiasakan berbudi pekerti dalam kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2001: 65).
Ajaran
mengenai nilai-nilai kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang disampaikan melalui
dongeng tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan anak. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Ayriza (1999: 2) yang mengemukakan bahwa dalam proses
perkembangan, masa anak-anak merupakan masa peka untuk perkembangan beberapa
aspek kejiwaan, yaitu suatu kurun waktu sesuatu fungsi akan berkembang secara
optimal apabila lingkungan mampu memberikan stimulasi yang memadai. Dongeng
dapat menjadi sarana untuk menstimulasi perkembangan beberapa aspek kejiwaan
anak sehingga diharapkan anak mampu mencapai batas paling atas dari rentang
potensi perkembangannya.
Membaca
dongeng pada hakikatnya membawa anak
untuk melakukan sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan
imajinatif, ke dunia relatif yang belum dikenalnya yang menawarkan berbagai
pengalaman kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 41).
Dengan
dihadapkan pada keaneragaman pengalaman kehidupan tersebut, anak belajar untuk
mengungkap berbagai hal yang menyangkut pengalaman kehidupan. Salah satunya
adalah penggunaan bahasa Jawa, baik krama maupun ngoko oleh para tokoh dalam
cerita. Tuturan atau percakapan yang disampaikan oleh para tokoh juga dapat
menjadi cerminan berunggah-ungguh Jawa yang santun. Seorang tokoh anak yang
berbicara kepada tokoh orang yang lebih tua akan menggunakan bahasa Jawa krama,
sedangkan tokoh orang tua berbicara dengan bahasa Jawa ngoko.
Melalui
suasana kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang dibangun dan ditanamkan di dalam
dongeng tersebut, anak akan menginternalisasikan nilai-nilai kesopanan
berunggah-ungguh yang positif ke dalam sistem moralnya, baik melalui imitasi,
identifikasi, maupun modeling.
Orang
tua di rumah dapat membacakan dongeng atau bercerita dengan bahasa Jawa
tersebut tidak hanya pada saat menjelang tidur saja. Akan tetapi, gunakan waktu
luang yang tepat sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan anak. Selain itu, saat
mendongeng, sebaiknya dilakukan dengan suasana yang menyenangkan, menggunakan
gerak tangan atau tubuh, ekspresi atau mimik wajah yang mendukung dongeng
tersebut. Hal yang terpenting, jangan memaksa anak mendengar dongeng atau
cerita yang dibacakan, namun menciptakan suasana menyenangkan dan membuat anak
merasa ‘ketagihan’ mendengarkan dongeng, menjadi hal yang utama bagi pendidik
dan orang tua.
2. Bernyanyi
Lagu-lagu Anak Berbahasa Jawa
Tembang
dolanan atau lagu anak berbahasa Jawa sebagai sarana untuk mengenalkan dan
mengajarakan bahasa Jawa, baik krama maupun ngoko kepada anak di usia dini.
Seperti halnya dongeng Jawa, tembang dolanan juga sangat beragam. Selain kental
dengan nuansa budaya Jawa, juga mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebaikan
atau budi pekerti bagi anak. Beberapa contoh tembang dolanan antara lain Aku
Duwe Pitik, Bibi Tumbas Timun, Paman Tukang Kayu, Sinten Nunggang Sepur, Ana
Tamu dan Menthog-menthog. Salah satu contoh lirik tembang dolanan Ana Tamu
tersebut adalah sebagai berikut:
E e
e e ana tamu,
mangga
mangga lenggah rumiyin,
bapak
nembe siram, ibu tindak peken,
mangga
mangga lenggah ngriki (Jati Rahayu, 2004: 4).
Lirik
tersebut dapat diartikan sebagai berikut.
‘E e
e e ada tamu,
silahkan
duduk dulu,
ayah
sedang mandi, ibu pergi ke pasar,
silahkan
duduk di sini’
Lirik
di atas sarat dengan nuansa kesopanan berunggah-ungguh Jawa yang sederhana,
namun sangat dekat dengan kebiasaan sehari-hari anak. Lirik tersebut
mengajarkan kepada anak berbahasa Jawa yang sopan kepada seorang tamu dalam
nuansa tatakrama menerima tamu.
3. Berlatih
Mengucap Kalimat Bahasa Jawa Sederhana melalui Bermain Peran
Cara
lain yang dapat diterapkan dalam mengenalkan unggah-ungguh bahasa Jawa kepada
anak usia dini adalah melalui bermain peran sederhana. Anak-anak dilatih
mengucapkan kalimat sederhana bahasa Jawa dan penerapannnya dalam kehidupan
sehari-hari. Anak-anak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing
mempunyai peran yang berbeda-beda. Ada yang berperan sebagai ayah, ibu, anak,
guru atau teman sebaya. Materi bermain peran unggah-ungguh bahasa Jawa tersebut
dipilih topik-topik yang sangat sederhana karena disesuaikan dengan keadaan
anak di usia dini. Beberapa contoh topik yang dapat dikembangkan adalah sebagai
berikut:
a. menawa
kowe pamit marang bapak ibu: Pak, Bu, kula nyuwun pamit badhe sekolah,
‘Bila
kamu meminta ijin kepada bapak ibu: Pak, Bu, saya pamit berangkat sekolah.’
b. menawa
kowe diparingi sangu ibu: Bu, Kula matur nuwun.
‘Bila diberi uang saku oleh ibu: Bu,
saya terima kasih.’
c. matur ibu guru yen arep pipis: Bu Guru, kula
badhe pipis.
‘Bila meminta ijin untuk buang air
kecil: Bu Guru saya akan buang air kecil’.
Topik-topik
di atas sangat sederhana, namun kandungan makna dari kegiatan bermain peran
tersebut diharapkan sangat dalam karena di dalamnya terdapat transfer
nilai-nilai sopan santun dalam bertutur, baik dengan orang tua maupun dengan
pendidik.
Dengan
cara menirukan kalimat beragam krama
(melalui bermain peran) terkait dengan kehidupan praktis yang selalu
dihadapi anak-anak sehari-hari, maka hal tersebut akan selalu terekam dengan
baik di dalam ingatannya. Selain itu, akan menjadi acuan ketika berperilaku dan
bersikap serta berinteraksi sosial di lingkungannya.
Materi
di atas nampak bahwa anak usia dini
dapat diperkenalkan dan diajarkan bagaimana cara berpamitan kepada orang
tua ketika akan berangkat ke sekolah, dengan bahasa Jawa ragam krama yang
sederhana, cara berterima kasih bila mendapatkan uang saku dari orang tua.
Selain itu, juga diberikan contoh bertutur dengan santun ketika anak harus meminta
ijin untuk buang air kecil. Sehingga anak didik akan membiasakan dirinya
bertutur dengan penuh kesopanan, meskipun dengan bahasa Jawa yang sederhana.
Selain
ketiga cara di atas, ada hal penting yang dapat dilakukan oleh pendidik dan
orang tua dalam mengenalkan dan mengajarkan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam
kehidupan sehari-hari anak di usia dini, yaitu bagaimana caranya membiasakan
anak untuk selalu berperilaku sopan santun dengan orang-orang di lingkungannya.
Ada
berbagai macam cara atau pendekatan pembinaan watak dalam upaya pembiasaan
bersopan santun tersebut. Menurut Riyanto (2004: 71- 81) cara tersebut adalah
sebagai berikut ini:
a. Orang
tua atau pendidik dapat menjadi teladan moral bagi anak-anak. Menjadi model
pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu pilihan bebas, tetapi suatu
keharusan yang tak terelakkan sebagai orang tua/ pendidik;
b. Harapan
yang realistis. Orang tua atau pendidik harus merencanakan harapan perkembangan
moral bagi anak yang sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangannya;
c. Menunjukkan
cinta yang tanpa syarat. Anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan
positif dan cinta tanpa syaratutk mengembangkan dirinya yang berharga sehingga
anak-anak juga akan mampu memperlakukan orang lain dengan cinta dan perhatian
serta menghargai;
d. Menyokong
harga diri anak sehingga dapat memunculkan rasa percaya dirinya.
Dengan
mengembangkan dan memadukan berbagai cara atau pendekatan secara tepat
diharapkan pengenalan unggah-ungguh bahasa Jawa bagi anak-anak di usia dini
dapat berhasil dengan baik sebagai modal dasar tahap perkembangan selanjutnya.
3. Penutup
3.1. Simpulan
Mengenalkan unggah-ungguh
bahasa Jawa pada anak-anak usia dini melalui pembiasaan berunggah-ungguh bahasa
Jawa secara praktis, menyenangkan, dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari,
dapat membiasakan anak untuk berperilaku sopan. Selain itu juga dapat digunakan
sebagai acuan anak usia dini ketika berperilaku dengan penuh
kesantunan dalam interaksinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Perkembangan
yang diperoleh pada periode usia dini ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa usia dini
(masa emas) ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti
habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk
pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat
diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Melalui
pembelajaran unggah-ungguh Bahasa Jawa secara praktis dan sesuai dengan
kehidupan sehari-hari, dapat membiasakan anak didik untuk berperilaku sopan.
Selain itu juga dapat digunakan sebagai acuan anak didik ketika berperilaku
dengan penuh kesantunan dalam interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran
unggah-ungguh Bahasa Jawa pada anak usia SD mempunyai peran dalam menanamkan
dan menumbuhkan nilai-nilai sopan santun pada anak didik dan pengguna bahasa
pada umunya serta dapat membangun watak bangsa.
3.2. Saran
Jaman era globalisasi mengakibatkan
tergerusnya moral bangsa, salah satunya adalah sikap sopan santun, terutama
pada anak usia dini. Kita sebaiknya selalu memupuk rasa saling menghormati dan
menghargai untuk menimbulkan rasa sopan santun dan tata krama antar sesama
serta menjalankan dan mengajarkan dasar tata krama sejak dini agar penerus
bangsa mempunyai etika, sopan santun dan tata krama, sehingga mengembalikan
Indonesia yang dikenal sebagai negara yang ramah kepada setiap pendatang,
negara dimana azas saling menghormati dijunjung tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Depdiknas. 2001. Pedoman Umum Pendidikan
Budi Pekerti Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah I. Jakarta: Ditjen
Dikdasmen Depdiknas.
Sabdawara. 2001. Pengajaran
Bahasa Jawa Sebagai Wahana Pembentukan Budi Pekerti Luhur. Makalah
Konggres. Yogyakarta: Konggres Bahasa Jawa III.
Sasangka, Sry Striya Catur Wisnu.(2004). Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua
Suharti. 2001. Pembiasaan
Berbahasa Jawa Krama dalam Keluarga Sebagai
Sarana Pendidikan Sopan Santun. Makalah Konggres. Yogyakarta:
Konggres Bahasa Jawa III.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar